Perlunya Desain Konkrit Pendidikan Karakter

  • Bagikan
M. Syafii Saragih, Dosen, Penulis Buku dan Pendidik di Pesantren Modern Al Barokah. (Dok Pribadi)
Oleh: M. Syafii Saragih, Dosen, Penulis Buku dan Pendidik di Pesantren Modern Al Barokah

KATA miris barangkali kata yang cukup tepat menilai kondisi remaja hari ini, yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara kognitif dan psikologis, yang berproses di rumah-rumah, sekolah-sekolah dan lingkungannya. Miris, karena memang kondisinya memprihatinkan, terutama terkait dengan karakter dan perilaku mereka. Istilah Juvenile Delinquency atau kenakalan remaja kemudian menjadi momok bagi para orang tua, guru, dan tentu juga pemerintah terkait, selaku pemangku kebijakan. Istilah ini sendiri merujuk pada suatu perbuatan remaja yang melanggar norma, aturan, atau hukum dalam masyarakat yang dilakukan pada usia remaja atau transisi masa anak-anak ke dewasa. Kenakalan Remaja merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial yang pada akhirnya menyebabkan perilaku menyimpang. Kenakalan remaja meliputi semua perilaku yang menyimpang dari norma-norma dalam masyarakat, pelanggaran status, maupun pelanggaran terhadap hukum pidana. Pelanggaran status seperti halnya kabur dari rumah, membolos sekolah, merokok, minum minuman keras, balap liar, dan lain sebagainya.

Melihat fenomena hari ini, sepertinya kenalakan remaja memang kian hari kian tampak. Perilaku penyimpangan remaja dari kewajiban dan fungsinya sebagai anak, pelajar, dan generasi bangsa sedikit demi sedikit tergerus dan terabaikan. Sebut saja, kewajiban sebagai anak bagi orang tuanya, prototipe anak soleh hari ini kian menjadi harapan besar bagi setiap orang tua yang justeru tantangannya sangat berat. Begitu juga, murid teladan kian menjadi impian. Hari ini, anak-anak justeru kurang memiliki akhlak dan karakter yang dibanggakan. Anak-anak sekarang sudah seperti Bos bagi orang tuanya sendiri, murid-murid di sekolah juga berani kurang ajar terhadap gurunya. Belum lagi gambaran anak-anak remaja yang tawuran, kecanduan gadget, terlibat kriminal, narkoba dan lain-lain. Hampir setiap hari kita bisa menyaksikan berita tentang kenakalan remaja menghiasi lembaran media cetak maupun online. Tentu, ini bukan remaja yang diharapkan. Entah siapa yang salah, begitu kira-kira ungkapan yang menyiratkan adanya kesadaran terhadap sebuah kesalahan. Fenomena ini tentu sangat disadari oleh semua elemen bangsa baik itu orang tua, guru, dan pemerintah. Oleh karena itulah kemudian pemerintah belakangan ini meluncurkan program sebagai solusi atas kekacauan perilaku siswa dengan istilah Survey Karakter.

Survey Karakter: Sebuah Upaya Teoritis

Baru-baru ini, pemerintah meluncurkan program yang disebut survey karakter. Program ini merupakan asesmen terhadap karakter siswa di sekolah-sekolah, yang bertujuan melakukan pemetaan terhadap karakter siswa. Lewat sejumlah pertanyaan, siswa diminta untuk menjawab, sehingga akan diperoleh gambaran karakter anak dari hasil jawaban. Tentu ini usaha yang patut diapresiasi. Apapun dan bagaimanapun tingkat keberhasilan test ini, yang jelas pemerintah sadar betapa pentingnya membangun karakter bangsa. Namun, ada hal yang harus lebih menjadi perhatian dari pemerintah terutama terkait prosesnya yang menyangkut metode dan sistem pendidikan agar anak berkarakter.

Tentu, pemetaan yang dilakukan harus tepat alat, agar usaha yang dilakukan tidak terkesan formalitas saja dan juga tepat hasil dan guna. Untuk itu, tentu harus disadari terlebih dahulu apa sesungguhnya karakter itu.

Merujuk ke kamus bahasa Indonesia karakter memiliki arti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Menilik pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa karakter itu adalah hasil dari sebuah proses kejiwaan seseorang yang kemudian tampil dalam kehidupannya sehari-hari. Nah, karena karakter adalah jiwa, maka dibutuhkan alat, metode dan proses yang tepat. Jadi, jika test yang digunakan hanya sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan tertulis saja, tentu ini kurang sempurna. Sebab, soal-soal yang dijawab lebih kepada test pikiran. Karena pada saat test dijawab, pikiran yang lebih banyak bekerja daripada jiwa. Test jiwa itu tidak bisa instan seperti test pilihan ganda atau essay, test jiwa itu harus dihadapkan pada kenyataan yang tanpa sadar sifat dan watak seseorang akan tampak aslinya. Saya tidak bermaksud mengakatan bahwa test survey karakter itu sia-sia, tapi saya ingin menekankan bahwa ada hal yang lebih penting dari survey karakter itu, yaitu adanya usaha terlebih dulu baru nilainya. Maksudnya, untuk membentuk anak yang berkarakter dan berkepribadian luhur, usaha apa yang sudah dilakukan?, sistem seperti apa yang sudah dibangun?, Bagaimana bentuk kurikulumnya?, Apakah pembelajaran karakternya terpola apa tidak?, Apakah iklim dan lingkungannya mendukung atau tidak?. Ini adalah sistem-sistem yang terkait dan terkoneksi dengan proses internalisasi karakter anak.

Baca Juga :  Manajemen Produksi Atau Jasa di Era

Semua sistem inilah yang pada hakikatnya harus menjadi perhatian lebih oleh pemerintah. Karena sistem-sistem ini yang mendukung proses pembelajaran dan internalisasi karakter anak, bukan hanya sekedar mensurvey dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan teoritis. Namun, perlu upaya serius dan istiqomah dalam merumuskan pola pendidikan karakter yang terintegrasi dengan kurikulum internal.

Perlunya Desain Pendidikan Karakter

Bagaimana pola pendidikan karakter itu, tentu tidak semudah membalikkan tangan. Seperti saya sebutkan sebelumnya, karena karakter adalah soal kejiwaan, maka ini sangat erat hubungannya dengan usaha pembiasaan. Karena ia soal pembiasaan maka dibutuhkan sistem yang dirancang sedemikian rupa, termasuk iklim lingkungannya, dan yang terpenting adalah kontrol dan keteladanan dari insan pendidik seperti guru dan orang tua.

Salah satu contoh desain pendidikan karakter yang sering kita lihat adalah adanya pembinaan spiritual seperti shalat berjamaah bagi siswa. Ini adalah upaya yang tentu sangat baik bagi pembiasaan spiritual anak. Namun sayangnya, sebagian guru tidak memberikan teladan. Hanya sebagian kecil guru yang ikut shalat berjamaah bersama murid. Nah, inikan proses yang kurang baik, iklim yang kurang mendukung, karena kurangnya contoh keteladanan di situ. Padahal, beberapa poin terpenting dari pendidikan karakter adalah keteladanan, proses pembiasaan, dan ia bukan sesuatu yang instan. Adapun hasilnya bisa jadi tidak saat itu juga namun barangkali puluhan tahun ke depan.

Sejarah menjelaskan bagaimana Nabi Muhammad Saw mengajarkan karakter pada sahabat-sahabatnya. Nabilah yang terlebih dahulu mempraktekkannya barulah beliau contohkan kepada yang lain. Firman Allah, “Dan sungguh pada diri Rasulullah (Muhammad) teladan yang baik bagimu”. Bagaimana Rasulullah mengajarkan keberanian dalam berperang, kesabaran, kegigihan, kedermawanan, toleran, saling bekerjasama, dan lainnya. Semua itu dengan keteladanan. Dan perlu dicatat, bahwa ujian karakter mereka itu, bukan dalam tulisan, tetapi kehidupan nyata.

Baca Juga :  Selamat Ulang Tahun ke-45 Istriku Tercinta

Hari ini kita melihat bahwa perjalanan pendidikan anak di sekolah-sekolah masih berkutat pada pemberdayaan kognitif saja. Ini tampak dari kurikulum yang ada di sekolah-sekolah. Sangat sedikit porsi hidden curriculum yang dirancang untuk pemberdayaan karakter. Bahkan jika dilihat dari mulai kurikulum 13 dan yang sekarang yaitu kurikulum merdeka, juga masih terkesan cognitive aimed minim affective aimed.

Sejatinya, karakter itu wilayah perasaan (affective domain) bersarang di hati, yang berfungsi merasakan (feel) seperti sedih, senang, cinta, empati, semangat, gigih, dan banyak lagi yang hubungannya dengan rasa. Dari rasa yang ada di hatilah munculnya sikap dan perbuatan. jika hatinya baik, maka baik pulalah sikap dan perbuatannya. Sebagaimana ungkapan Nabi Muhammad Saw, ‘Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruhnya, Tetapi, bila rusak, niscaya akan rusak pula seluruhnya. Segumpal daging itu bernama qolbu. (HR Bukhari dan Muslim). Ini artinya bahwa mendidik karakter itu adalah mendidik hati (affective) dan mendidik hati itu berbeda dengan mendidik pikiran (cognitive).

Dalam UU Sisdiknas no 20 tahun 2003 dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional itu memprioritaskan soal iman, ketakwaan, dan akhlak mulia. Artinya, bahwa pemerintah sadar betul jika karakter merupakan fondasi penting dalam tatanan hidup dan kehidupan. Nah, di sinilah kemudian sekolah mempunyai peran penting dalam membentuk karakter dan kepribadian anak bangsa. Pertanyaannya, sudahkah sekolah secara garis besar, mampu mewujudkan cita-cita pendidikan ini?.

Untuk mengukurnya tentu sulit. Tetapi, barangkali apa yang tampak dalam kehidupan bangsa ini, dari seluruh aspeknya, apakah politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, keagamaan, dan lainnya bisa menjadi gambaran. Bangsa yang sehat itu, cirinya antara lain adalah keseimbangan politik, hukum, ekonomi, dan lainnya. Setidaknya ada tiga prinsip yang harus dijunjung oleh satu bangsa agar sampai pada bangsa yang beradab dan berperadaban tinggi, persamaan derajat, keadilan sosial, dan persaudaraan. Di sini, pendidikan lah yang berperan sangat penting, yang salah satunya adalah pendidikan karakter. Untuk itu perlu upaya-upaya mendesain pola pendidikan karakter anak.

Perlunya Desain Pendidikan Karakter
Saya masih ingat, program TV swasta “andai aku menjadi…”, Dan “Tukar nasib”. Di sini, seseorang dihadapkan pada situasi dan keadaan yang bukan keadaan dia sebenarnya, seseorang dirancang dengan sengaja untuk mengalami hal yang belum pernah ia rasakan. Seorang pengusaha selama seminggu menjadi pemulung, begitu sebaliknya. Di sini mereka akan merasakan hal-hal baru yang barangkali belum pernah mereka rasakan. Si pengusaha misalnya, ia akan mengalami kadaaan yang serba kekurangan yang kemudian diharapkan dari proses itu ia akan belajar merasakan kesulitan orang lain. Sehingga dengan begitu ia akan memiliki empati dan kepekaan yang tinggi terhadap orang lain. Demikian sebaliknya, si pemulung akan belajar bagaimana menjadi pekerja keras yang tidak kenal lelah. ini adalah salah satu desain dan pola nyata dari sebuah proses pendidikan karakter.

Di satu kesempatan, saya pernah memberikan projek kepada mahasiswa untuk membuat penelitian kecil (mini research) tentang model pembelajaran karakter. Ada salah satu mahasiswa yang selama dua minggu membuat penelitian tentang anak yang suka jahil memukul teman-temannya tanpa alasan yang jelas. Salah satu trik yang dilakukannya adalah menunjukkan foto dan orang yang mukanya lebam kena pukul. Dengan nasehat yang lembut, anak diajak melihat suatu fakta, yang kemudian terjadi perubahan secara perlahan pada anak tersebut.

Baca Juga :  Peran Manajemen Pendidikan Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Penguatan Usaha Mikro Kecil dan Menengah

Artinya, anak-anak harus sering diajak untuk merasakan sesuatu. Untuk menumbuhkan empati misalnya, anak-anak bisa diajak untuk pergi kunjungan ke panti-panti asuhan melihat bagaimana kehidupan anak-anak yatim piatu di sana, mereka diarahkan untuk berinteraksi dengan anak yatim untuk mendengarkan tentang kehidupan mereka. Jadi, dengan begitu, pendidikan akan menyentuh hatinya. Sehingga, ketika anak sering dihadapkan dan diajak untuk banyak merasakan, akan tumbuh karakter dan perilaku yang lebih baik.

Di sinilah, barangkali yang menurut saya harus lebih banyak dilakukan. Pendidikan karakter tidak cukup hanya di ruang-ruang kelas, karena kelas tempatnya teori bukan fakta. Sementara, pembelajaran itu harus lebih banyak berputar pada kenyataan hidup. Di sinilah yang menurut saya, para pendidik perlu melakukan banyak kreasi dan inovasi mendesain kurikulum kehidupan untuk pendidikan karakter, sehingga tujuan prioritas pendidikan nasional bisa terwujud untuk sebuah bangsa yang beradab dan berperadaban tinggi.

Guru adalah pendidik bukan hanya pengajar. Tugasnya lebih besar dari sekedar membuat anak didik mengetahui banyak hal. Tetapi bagaimana mereka tumbuh dan berkembang dengan mental dan karakter yang baik. Yang terpenting bukan nilai dari apa yang mereka pelajari, namun bagaimana mereka belajar. Mendapatkan nilai dari pelajaran tertentu itu mudah, tetapi menciptakan karakter itu perlu waktu panjang, konsistensi dan kesinambungan.

Membuat anak memiliki nilai tinggi pada mata pelajaran tertentu adalah pekerjaan mudah, namun untuk membuat anak bisa bersabar mengantri di sebuah barisan, belajar dengan tekun di tengah kelelahannya, membantu teman-temannya yang kesulitan, berbagi kepada orang yang membutuhkan, hormat dan patuh terhadap orang tua dan guru, peduli terhadap kebersihan lingkungannya, adalah pekerjaan yang membutuhkan energi besar, sistem yang tepat, iklim lingkungan yang mendukung, dan tentunya keteladanan. Sudah sepatutnya guru tidak terjebak hanya pada hasil belajar yang berbentuk nilai saja, tetapi lebih fokus pada bagaimana mereka mendapatkan nilai itu. Prosesnya itulah yang dinamakan karakter.

Ada pepatah Arab yang menyebutkan (Siapa yang bersungguh-sungguh maka akan mendapat). Sungguh-sungguh itu proses pembentukan mental dan karakter, sedangkan “mendapat” itu adalah hasilnya. Biarlah, anak-anak yang memang kurang unggul dalam bidang akademik memiliki nilai secukupnya, tidak perlu terlalu memaksa mereka. Yang terpenting adalah bagaimana mereka melaksanakan setiap perintah dan proses belajarnya, dan bagaimana mereka menunjukkan kesungguhannya. Adapun yang utama bagi anak untuk kehidupan mereka ke depan, bukanlah angka-angka yang telah mereka dapatkan selama belajar di sekolah, bukan soal juara berapa di kelas, jumlah tropi dan sertifikat, tetapi mental dan karakter apa yang sudah terbentuk dan terpatri dalam dirinya, kejujuran, kesungguhan, keikhlasan, kedermawanan, keteladanan, dan lainnya. Sehingga, mereka akan dapat survive dalam kehidupan mereka ke depan dan dapat memberikan manfaat bagi diri, keluarga, dan bangsanya. Allau Alam.

  • Bagikan