Opini  

Ulang Tahun SMSI: Sewindu Mengarungi Disrupsi Multidimensi

Ketua Umum SMSI, Firdaus. (Foto: Dok SMSI)

Oleh: Firdaus, Ketua Umum SMSI

DISRUPSI teknologi semakin menjadi-jadi ketika organisasi pers Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) genap berusia sewindu pada Jumat, 7 Maret 2025.

Disrupsi ini tidak kunjung mereda, bahkan memasuki babak baru: disrupsi multidimensi. Ciri multidimensi ditandai dengan serangan dari berbagai sisi.

Media saling melumpuhkan satu sama lain, baik dari sisi bisnis, keredaksian, jurnalisme, distribusi, maupun sistem pemasaran.

Persaingan antar-platform media pun tak terelakkan. Persaingan semakin luas, tidak hanya antarperusahaan pers, tetapi juga dengan media sosial dan bahkan media global seperti Google dan Facebook.

Terjadi aksi begal-membegal konten media tanpa menghiraukan etika. Siapa yang memproduksi konten dan siapa yang meraup keuntungan menjadi tidak jelas karena tidak ada aturan main yang tegas.

Media cetak tergerus oleh platform televisi dan online. Sementara itu, media televisi terganggu oleh media sosial dengan berbagai layanan aplikasinya, seperti YouTube.

Media global berbasis digital, seperti Google, juga turut mendistribusikan berita dan mengambil banyak iklan. Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang mendaur ulang informasi pun semakin berkembang, bahkan mulai mengambil peran dalam kerja jurnalistik, termasuk mengolah informasi menjadi karya tulis.

Baca Juga :  Manajemen Produksi Atau Jasa di Era

Namun, informasi yang disampaikan AI banyak yang belum terverifikasi kebenarannya, sehingga turut menggerus kerja media pers.

Sudah tak terhitung berapa kali AI didiskusikan dan diseminarkan di dalam maupun luar negeri untuk berbagai bidang pekerjaan, termasuk jurnalisme dan bisnis media.

Meski demikian, masih banyak pertanyaan dan keraguan terhadap kemampuan AI sebagai mesin pendaur ulang informasi yang melimpah setiap hari. AI dinilai masih lemah dalam menyeleksi data dan informasi. Antara hoaks dan fakta belum bisa dipilah secara meyakinkan.

Di sinilah AI sering kali dipandang berlawanan dengan kerja jurnalisme, yang mengedepankan fakta, data, dan verifikasi ketat sebelum informasi disajikan sebagai berita. Selain berlawanan dalam prinsip kebenaran fakta dan data, AI juga menjadi pesaing dalam bisnis media.

SMSI tidak kaget menghadapi situasi seperti ini. Kelahiran SMSI delapan tahun lalu memang merupakan respons terhadap disrupsi teknologi dan transformasi sosial yang sedang melanda media massa saat itu.

Baca Juga :  Ada Rakyat di Balik Kejaksaan

Banyak perusahaan media massa bangkrut, sebagian terpaksa tutup. Awak media, seperti wartawan dan tenaga pendukung, harus dirumahkan atau diberhentikan tanpa batas waktu.

Tenaga kerja di bidang pers banyak yang menganggur. Sementara itu, mereka yang masih bertahan harus beradaptasi dengan cara kerja baru yang serba digital.

Mereka yang bisa beradaptasi tetap bekerja, tetapi dengan kesejahteraan yang jauh lebih minim karena pendapatan dari iklan tidak lagi sebesar sebelum disrupsi terjadi.

Situasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di seluruh dunia, termasuk di Tiongkok, yang medianya mendapat subsidi dari negara.

Banyak tenaga kerja pers yang kehilangan pekerjaan akibat disrupsi akhirnya mengalir ke media digital/siber, yang lebih mudah dikembangkan meskipun model bisnisnya belum jelas.

Karena itu, bisa dikatakan bahwa SMSI adalah anak perubahan era 4.0, hasil dialektika antara media lama dan media baru. Kelahirannya bertepatan dengan berlangsungnya disrupsi. SMSI tidak hanya menjadi media alternatif, tetapi juga turut menjadi pelaku di dalamnya.

Baca Juga :  Strategi Militer Jenderal Andika, Tonggak Terbaik Untuk Indonesia

Hari ini, Jumat, 7 Maret 2025, SMSI merayakan ulang tahun ke-8. Perjalanannya sebagai organisasi pers yang menaungi sekitar 2.700 pengusaha media siber semakin mantap dan tangguh dalam menghadapi persaingan media.

Namanya semakin dikenal luas. Jaringan bisnisnya pun tidak terbatas hanya pada instansi pemerintah, tetapi juga meluas ke sektor swasta, termasuk industri.

SMSI semakin memahami ekosistem media. Disrupsi multidimensi tidak bisa dihindari. Semua berjalan secara alami. Perubahan terjadi sebagai bagian dari kodrat zaman, dan tidak ada yang bisa menolaknya. Disrupsi teknologi berlangsung secara tali-temali—menghidupkan sekaligus meruntuhkan.

Namun, kita tidak boleh menyerah pada disrupsi teknologi. Sejak awal, SMSI tidak ingin sekadar mengantisipasi perkembangan teknologi, karena itu adalah sikap pengekor. Sebaliknya, SMSI hadir untuk merancang perubahan jauh di depan teknologi itu sendiri.

Sejak awal pula, SMSI mendidik seluruh awak bisnis media dan redaksi untuk bekerja langsung di lapangan, bukan sekadar mengutip informasi dari AI yang masih perlu verifikasi. Jurnalisme yang berkualitas menjadi moto SMSI.