Yusril Beberkan 3 Jalan Tunda Pemilu 2024 dan Perpanjang Masa Jabatan Presiden

  • Bagikan
Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra. (Suara.com/M Yasir)

Yusril menceritakan, Presiden Gus Dur juga pernah mencoba melakukan revolusi hukum dengan mengeluarkan dekret membubarkan DPR dan MPR hasil Pemilu 1999. Sebelum niat itu dilaksanakan, Yusril yang saat itu menjabat Menteri Kehakiman dan HAM mengaku sudah memberikan tausiyah kepada Presiden Gus Dur resmi dalam sidang kabinet tanggal 6 Februari 2001.

Inti tausiyah Yusril tersebut adalah dekrit membubarkan DPR dan MPR itu adalah tindakan inkonstitusional yang sangat berisiko landasan sosiologis, politis dan konstitusional sebagaimana situasi saat Bung Karno terbitkan dekret 5 Juli 1959. Untuk itu, Yusril menyarankan Gus Dur mengundurkan diri karena pada waktu itu DPR sudah mengeluarkan memorandum I kepada Presiden. Sayangnya, kata Yusril, tausiyahnya disambut Gus Dur dengan kemarahan sehingga tanggal 7 Februari 2001, dirinya diberhentikan sebagai Menteri Kehakiman dan HAM dan digantikan oleh Baharudin Lopa.

“Lopa bersedia mewakili Presiden menjawab memorandum I dan II di MPR, suatu tugas yang sebelumnya saya tolak untuk melaksanakannya. Dekrit akhirnya diteken oleh Presiden Gus Dur tanggal 23 Juli 2001 yang mendapat dukungan begitu banyak dari kalangan aktivis, akademisi dan tokoh-tokoh LSM yang berbondong-bondong datang ke Istana. Namun karena sebagai sebuah tindakan revolusi hukum yang tidak matang, MPR segera bersidang dan menjawab dekrit Presiden sebagai pelanggaran terhadap konstitusi dan haluan negara. Maka, Presiden Gus Dur diberhentikan dari jabatannya,” papar Yusril.

Baca Juga :  Kartu Prakerja Jadi Best Practice dan Pilot Project Program Nasional

Yusril menduga Presiden Jokowi tidak akan memilih cara mengeluarkan dekret menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan semua penyelenggara negara termasuk dirinya, yang menurut UUD 1945 harus diisi melalui pemilu. Menurut Yusril, risiko politiknya terlalu besar dan akan menjadi bumerang bagi Presiden Jokowi karena tindakan revolusioner itu jauh daripada matang serta TNI dan Polri juga belum tentu akan mendukungnya.

“Presiden Joko Widodo sendiri mengatakan kepada saya bahwa beliau tidak berkeinginan memegang jabatan tiga periode karena tidak punya landasan konstitusional dan bertentangan dengan cita-cita reformasi. Apakah apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo itu adalah sesuatu yang keluar dari hati nuraninya atau kah hanya sekedar ucapan basa-basi saja, saya tidak tahu. Sebagai manusia, saya hanya memahami yang zahir, dalam makna, itulah kata-kata yang beliau ucapkan dan saya pahami. Sesuatu yang batin di balik yang zahir itu, semuanya berada di luar jangkauan saya untuk memastikannya,” kata Yusril.

Jalan ketiga untuk menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan para penyelenggara negara, lanjut Yusril adalah dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan atau constitutional convention. Dalam konteks ini, kata Yusril, pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatakan pemilu dan masa jabatan DPR, DPD, presiden dan wakil presiden serta DPRD tidak diubah sama sekali, tetapi dalam praktiknya pemilu dilaksanakan misalnya tujuh tahun sekali sehingga sehingga masa jabatan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD dan dengan sendirinya MPR, dalam praktiknya juga dilaksanakan selama tujuh tahun.

Baca Juga :  Bidik Tersangka Baru, Kejagung Periksa Saksi Kasus Korupsi PT Timah Tbk

“Praktik penyelenggaraan negara yang beda dengan apa yang diatur dalam konstitusi itu dalam sejarah ketatanegaraan kita, hanya dilakukan dengan pengumuman pemerintah, yakni Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 45. Arsitek perubahan itu adalah Sutan Sjahrir. Pertimbangannya adalah, menurut Sjahrir, Sukarno-Hatta adalah ‘kolaborator Jepang’ yang sulit untuk diterima kehadirannya oleh Sekutu, dan juga Belanda. Kita harus berunding dan berdiplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan, karena perlawanan bersenjata, menurut perhitungan Sjahrir, tidak cukup kuat untuk mengalahkan Belanda,” ungkap Yusril.

Dijelaskan, dengan Maklumat Nomor X itu banyak hal yang berubah, di antaranya sistem presidensial berubah menjadi parlementer; Sukarno Hatta hanya berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Wakilnya, sementara kekuasaan pemerintahan ada di tangan Perdana Menteri yang dijabat Sjahrir; serta KNIP yang semula hanya lembaga yang membantu presiden, berubah menjadi parlemen tempat Perdana Menteri bertanggung jawab. Mengutip pendapat Prof Dr Ismail Suny, kata Yusril, perubahan dalam praktik tersebut terjadi karena konvensi ketatanegaraan yang dalam praktik diterima, tanpa ada yang menentang.

“Akibat situasi perang kemerdekaan, pemilu pertama yang direncanakan akan dilaksanakan tanggal 1 Februari 1946 untuk membentuk DPR dan MPR, menetapkan UUD tetap dan memilih presiden dan wakil presiden tidak dapat dilaksanakan. UUD 1945 yang menurut ketentuan dua ayat dalam Aturan Tambahan hanya akan berlaku selama dua kali enam bulan, akhirnya berlaku terus sampai digantikan dengan Konstitusi RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Semua itu terjadi melalui konvensi ketatanegaraan. Teks UUD 1945-nya sepatah kata pun tidak diubah, tetapi praktik penyelenggaraan negaranya sudah berbeda jauh dengan apa yang secara normatif diatur di dalam UUD tersebut. Namun praktik itu diterima tanpa banyak masalah. Seperti telah saya telah saya katakan, tidak ada pihak yang membawa masalah itu ke pengadilan untuk menilai apakah tindakan yang menyimpang dari UUD 1945 itu sah atau tidak,” terang dia.

Baca Juga :  Anies Baswedan Akan Taaruf dengan 5 Cawapres Koalisi Perubahan

Yusril menegaskan, sekarang zaman sudah berubah dan rakyat sudah lebih paham bagaimana penyelenggaraan negara dibanding zaman revolusi tahun 1945-1949. Selain itu, kata dia, ahli-ahli tambah banyak, media sosial membuka peluang bagi siapa saja untuk mengkritik, dan ada Mahkamah Konstitusi yang bisa menguji undang-undang dan mengadili sengketa kewenangan antar lembaga negara.

“Jadi, konvensi ketatanegaraan tentang penundaan Pemilu sulit diciptakan, apalagi orang awam dengan mudah akan menganggap ada ‘penyelewengan’ terhadap UUD 1945. Presiden Jokowi tentu tidak dalam posisi untuk dapat menciptakan konvensi ketatanegaraan sebagaimana digagas Sjahrir dan dilaksanakan Wapres Mohammad Hatta tahun 1945 itu,” kata Yusril.

Sumber: Beritasatu.com

  • Bagikan