Lurah DPP PATRI, Transmigrasi dan Pendekatan Budaya

  • Bagikan
Lurah DPP PATRI, Ir Sunu Pramono Budi MM. (Foto: Dok Pribadi)

Oleh: Lurah DPP PATRI, Ir Sunu Pramono Budi MM

KELOMPOK kerja lahan, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Perhimpunan Anak Transmigrasi Republik Indonesia (PATRI) merasa beruntung, karena mempunyai mitra dari aktivis NGO, mantan Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).

Bergabungnya Emilianus (Emil) Kleden paling tidak telah membuka perspektif baru. Kuatnya semangat korps dan terbatasnya ruang pergaulan kita selama ini, membuat kita memandang kasus trans secara sepihak, yaitu pihak “kami”. Padahal diluar itu ada pihak dia, dan pihak kita.

Kita sulit memahami dari pihak dia, karena kita tidak pernah memasukkan dia sebagai bagian dari kami dan kita. Bahkan menjaga jarak, berlindung dibalik seragam zona nyaman.

Oleh karena itu, saya tidak serta merta “menyalahkan” cara pandang birokrat terhadap “gaya LSM”.

Keterbatasan ruang dialog menyebabkan diantara pejabat kita belum familiar bermitra dengan NGO/LSM. Terkesan menghindar. Biarlah, waktu dan pengalaman yang nanti akan mencerahkannya.

Baca Juga :  Strategi Militer Jenderal Andika, Tonggak Terbaik Untuk Indonesia

Produk Reformasi. Seperti diketahui, setelah reformasi 1998 terjadi peluang baru bangkitnya masyarakat sipil.

Diantaranya ditandai menjamurnya LSM pressure group. Agresivitas dan ditunjang kebebasan pers menjadikan LSM pressure group (kelompok penekan) cepat menggapai popularitasnya.

Padahal sesungguhnya ada beberapa tipologi, seperti yang akan saya terangkan di bawah ini.

Kita punya LSM tipologi pemberdayaan (community development – com devt).
Mereka sudah eksis jauh sebelum adanya orde baru.

Fungsinya mendampingi masyarakat untuk memberikan penyadaran, sehingga mampu mandiri dalam menyelesaikan masalahnya. Mereka ini “sangat rendah hati”, bekerja tidak mengenal hiruk pikuk publisitas.

Ada juga LSM yang mengkhususkan melakukan kajian-kajian (research and publication). Kegiatannya lebih banyak melakukan penelitian dan penyadaran melalui seminar dan menerbitkan buku-buku praxis non akademik.

Sayangnya, sejak Orde Baru sampai sekarang birokrat lebih mudah mengenali tipologi LSM yang pressure group saja.

Baca Juga :  Peran Manajemen Pendidikan Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Penguatan Usaha Mikro Kecil dan Menengah

Karena aksinya memang mudah dilihat di media massa. Mereka melakukan penyadaran dan mengkritisi kebijakan secara ekstrim radikal. Kemudian memobilisasi massa berunjuk rasa. Akibatnya pejabat atau birokrat, apalagi yang merasa bercacat, antipati dengan gaya NGO ini.

Apa yang kurang dalam transmigrasi hari ini?
Ada satu simpul kecil. Selama ini proses perencanaan transmigrasi seperti “hak paten” birokrat. Tak pernah ada melibatkan wakil trans dan tokoh lokal untuk mendiskusikan.

Padahal dunia kita saat ini sudah jauh berubah. Hal itulah yang menyebabkan timbulnya kecemburuan sosial, dan akibatnya merembet jadi bara sengketa kasus lahan.

Oleh karena itu, pendekatan budaya selama proses perencanaan, penempatan, dan integrasi sosial perlu dilakukan secara tulus dengan melibatkan NGO pemberdayaan.

Mengapa harus tulus? Karena pekerjaan budaya adalah pekerjaan nurani. Tidak bisa dilakukan sekedar basa-basi untuk melengkapi syarat formalita belaka.

Baca Juga :  Perlunya Rancangan Pola Pendidikan Karakter

Transmigrasi kedepan tidak lagi hanya urusan pekerjaan teknis, tetapi perlu sentuhan ruhiyah dan budaya. Pada sisi inilah aktivis NGO pemberdayaan ahlinya.

Mengapa harus tipologi NGO com devt? Ya, para birokrat sepertinya akan sulit melakukan pekerjaan dengan melepas baju seragamnya dan tidur bersama warga selama berbulan-bulan, seperti yang dilakukan aktivis dibasis lapangan. Jadi harus ada sinergitas mutualistik.

Dibentuknya beberapa kelompok kerja (working group) antara NGO, ORMAS, dan birokrat dibeberapa kementerian, menujukkan adanya indikator positif.

Diantaranya pokja yang ada di kehutanan, sumber daya air, dan lahan transmigrasi.

Semoga kesadaran bersinergi itu dapat mempercepat mengurai dan menyelesaikan permasalahan yang dirasakan kian komplek.

Demikian catatan ringkas ini ditulis. Semoga tulisan ini menginspirasi kita. Paling tidak kita mulai menyadari, betapa pentingnya upaya membangun solidaritas sosial melalui pendekatan budaya.

Adapun untuk kerja pendekatan budaya seni, PATRI sudah cukup berhasil.

  • Bagikan